Kabar “Sampah” Merebak Jelang Pemilu, Ini Jurus Penangkalnya

SEMARANG, Mediajateng.net – Jelang gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, media sosial harus digunakan untuk optimalisasi pendidikan politik. Ini juga termasuk media-media mainstream. Jangan sampai media malah digunakan sebagai sarana propaganda menyebarkan hal-hal negatif, misalnya berkonten gangguan keamanan, menyebarkan isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA), hoax, maupun ujaran kebencian.

Hal itu dibahas dalam diskusi publik bertema Pemilu 2019 tanpa Isu SARA, Black Campaign, dan Hate Speech, di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (13/8/2018). Diskusi yang digelar Radio Elshinta Semarang itu menghadirkan 4 nara sumber; Ketua KPU Jawa Tengah, Joko Purnomo; Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDIP Jawa Tengah, Bambang Haryanto; Sekretaris DPD Partai Gerindra Jawa Tengah, Sriyanto Saputro dan Pengamat Politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Teguh Yuwono.

“Media sosial sering digunakan kampanye dengan konten-konten negatif, juga media mainstream yang kadang bombastis judulnya saja. Kalau saya lihat mulai tahun 2014 sampai sekarang ini saya kira sama, model kampanye lewat medsos, juga media mainstream,” ungkap Joko Purnomo.

Joko optimistis hal-hal seperti itu bisa diminimalisir, asalkan semua pihak sama-sama bergerak, mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik yang baik. Untuk KPU sendiri, sebut Joko, sudah menyiapkan rumah pintar yang ada di seluruh wilayah. Masyarakat bisa mendapatkan informasi apapun terkait dengan Pemilu, termasuk hal-hal yang perlu dihindari.

“Norma berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak bisa dirusak begitu saja. Pendidikan politik bagus lewat mana? Ya lewat dunia pendidikan. Jadi sejak kecil sudah diberikan pendidikan politik. Seperti di Jepang, anak kecil sudah diajarkan di sekolahan bagaimana jika terjadi gempa bumi,” lanjut Joko.

Sriyanto Saputro mengungkapkan dirinya optimistis Jawa Tengah akan tetap kondusif meskipun ada gelaran Pemilu 2019 yang merupakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia. Soal media mainstream yang cenderung menampilkan sesuatu yang tidak mendidik, Sriyanto berargumen hal itu disebabkan karena masih adanya media mainstream yang dimiliki politisi atau berafiliasi ke parpol tertentu.

“Saya paham betul, kode etik ditabrak. Saya dulu wartawan, juga pernah di Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Tengah,” kata dia.

Untuk pendidikan politik, Sriyanto mengatakan sekarang ini tentunya harus bisa dioptimalkan lagi. Salah satunya, adanya APBD yang lebih besar. Untuk parpol, kata Sriyanto, soal anggaran yang didapat, 60 persennya untuk pendidikan politik.

“Pendidikan politik terus kami lakukan, termasuk di internal. Misalnya; tentang media sosial dan Undang-Undang ITE yang bisa berkonsekuensi pidana. Istilahnya jempolmu harimaumu. Adanya media sosial ini adalah konsekuensi kemajuan teknologi,” lanjut Sri yang juga duduk di Komisi A DPRD Jawa Tengah.

Bambang Haryanto menyebut, paskareformasi terjadi lompatan demokrasi yang luar biasa di Indonesia.
Termasuk perkembangan teknologi yang juga digunakan untuk sarana kampanye.

“Saya sepakat itu adalah konsekuensi demokrasi (adanya medsos jadi ajang kampanye). Perkembangan teknologi (yang jadi sarana penyebaran konten negatif saat kampanye), akan sangat bisa diminimalisir,” kata Bambang yang juga duduk di Komisi A DPRD Jawa Tengah ini.

Sementara itu, Teguh Yuwono, mengemukakan pesta demokrasi Pemilu adalah hajat seluruh rakyat Indonesia. Sebab, demokrasi adalah kehendak rakyat. Sebab itulah, semuanya harus punya komitmen untuk menjaga pesta demokrasi itu agar tetap kondusif, tak hanya di tatanan pemerintahan atau parpol saja.

“Kalau logika elite, memang bisa duduk adem ayem bersama. Tapi logika massa bagaimana? Inilah pentingnya pendidikan politik,” ungkapnya.

Teguh menambahkan, parpol juga harus membuka diri lebar-lebar untuk menerima kritikan dari masyarakat luas. Ini akan sangat berguna untuk perkembangan parpol itu sendiri, juga untuk nantinya berdampak positif pada masyarakat luas.
“Tidak perlu risau dengan media. Karena ini risiko kompetisi, semua punya dampak. Inilah, perlunya kompetisi harus di-switch lebih sehat,” tandasnya.

Di akhir acara, semua narasumber itu berjabat erat sembari mengucapkan ikrar komitmennya mewujudkan Pemilu 2019 yang damai dan bermartabat di Jawa Tengah.

Sesuai jadwal penyelenggaraan Pemilu, pada 17 April 2019 mendatang akan digelar Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) sekaligus Pemilu Legislatif (Pileg) baik DPR pusat, Tingkat 1, Tingkat 2 maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Comments are closed.