Dibarter dengan Sukhoi, Ternyata Begini Sejarah Kerupuk

Ketenaran kerupuk bakal semakin moncer setelah Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito menyebut bakal menyertakan camilan tersebut dalam daftar komoditas yang bakal dibarter dengan pesawat Sukhoi SU-35.

Bulan depan (Agustus 2018) kesepakatan kontrak imbal beli pesawat Sukhoi SU – 35 antara pemerintah Indonesia dengan Rusia berlaku. Pemerintah Indonesia memborong 11 pesawat tempur canggih tersebut dengan sistem barter komoditas dalam negeri.

Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu memastikan Indonesia akan membeli sebelas unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia senilai Rp15 triliun.

Pembelian menyertakan beberapa mekanisme, yakni pemerintah Russia wajib membeli komoditas Indonesia 50% dari nilai kontrak. Menariknya, salah satu produk yang akan dibarter adalah kerupuk. Mungkin ini kali pertama alutsista dibarter dengan kerupuk. Apa sih istimewanya kerupuk?

Kerupuk merupakan makanan ringan yang disukai banyak orang. Selain bisa dimakan langsung, kerupuk biasanya melengkapi berbagai jenis makanan.

Menurut sejarawan kuliner Fadly Rahman yang dilansir Historia.id kerupuk sudah ada di Pulau Jawa sejak abad ke-9 atau 10 yang tertulis di prasasti Batu Pura. Di situ tertulis kerupuk rambak (kerupuk dari kulit sapi atau kerbau) yang sampai sekarang masih ada dan biasanya jadi salah satu bahan kuliner krecek.

“Kerupuk kulit dengan bahannya kulit ternak dibuat dengan cara sesudah lapisan selaput dibuang dan bulunya dihilangkan biasanya dengan jalan dibakar, kulit digodog hingga empuk kemudian diiris-iris dan dijemur hingga kering,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum.

Pada perkembangannya, kerupuk juga menyebar ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan, Sumatra, hingga Semenanjung Melayu. Masyarakat Melayu di sana menjadikan kekayaan laut macam ikan hingga udang, menjadi kerupuk.

“Itu tercatat dalam naskah Melayu karya Abdul Kadir Munsyi saat menyebut Kuantan (Malaysia), sekitar abad 19, dia juga membahas keropok (kerupuk). Kerupuk mulai disukai di mancanegara sedari masa kolonialisme Hindia Belanda dan dianggap jadi pelengkap yang harus ada dalam berbagai kuliner Nusantara yang mereka santap,” kata Fadly.

Meski awalnya dianggap pelengkap, namun perlahan kerupuk mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat bangsa Eropa. Sampai-sampai ada ungkapan “kurang nikmat menyantap makanan Nusantara tanpa kerupuk”.

“Tentunya juga selain sambal. Di Suriname yang jadi tempat migrasi orang Jawa di masa kolonial, kerupuk jadi makanan yang populer. Buat orang-orang mancanegara, kerupuk jadi satu hal yang melekat dan menarik minat karena menganggap kerupuk adalah identitas kuliner Indies (Hindia Belanda),” kata Fadly.

Selain kerupuk kulit, menurut Pringgodigdo, kerupuk juga terbuat dari tepung singkong (tepung kanji), tepung terigu sedikit dan garam secukupnya ditambah daging udang atau ikan. Jenisnya bermacam-macam tergantung bahan lain yang ditambahkan, misalnya kerupuk udang atau kerupuk ikan.

“Nama dagang kerupuk juga biasanya diambil dari nama bahan tambahannya: kerupuk udang, kerupuk (ikan) tenggiri, dsb., atau menurut tempat pembikinannya, seperti kerupuk Sidoarjo, kerupuk Palembang, dsb.,” tulis Pringgodigdo.

Ada juga nama dagang yang menggunakan nama pemilik perusahaannya. Misalnya, kerupuk “Sudiana” di Jalan Kopo Bandung. Sebelumnya, Sudiana bekerja di pabrik kerupuk milik Sahidin. Keuletannya membuat dia diangkat menantu oleh Sahidin dan membangun perusahaannya sendiri.

Sahidin dan Sukarma, pengusaha kerupuk asal Tasikmalaya, memulai usahanya sejak tahun 1930 di daerah Jalan Kopo depan Rumah Sakit Emanuel Bandung. Mereka begitu tersohor sehingga namanya diabadikan menjadi nama gang.

“Buruh-buruh pabrik yang pernah bekerja di pabrik mereka tidak sedikit yang bisa berdiri sendiri. Bahkan, 250 pengusaha kerupuk di Bandung sebelumnya pernah bekerja pada Sukarma dan Sahidin,” tulis Tempo, 13 Oktober 1979.

Setelah menjadi komoditas ekspor, kini kerupuk menjadi salah satu produk yang akan dibarter dengan pesawat tempur Sukhoi. “Pamornya naik. Ini jadi penanda bahwa sensasi cita rasa kerupuk di mancanegara tidak bisa dianggap remeh,” kata Fadly.