NKRI Kokoh Hadapi Disintegrasi

mediajateng.net – Departemen Litbang AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) pusat bersama Departemen Humas kembali menggelar Historia. Agsi Diskusi Sejarah #2 episode bulan Juni 2021, Jumat (26/6/2021) melalui platform zoom meeting. Diskusi yang diinisiasi Lilik Suharmaji sebagai Kepala Departemen Litbang AGSI Pusat itu bertajuk Pergolakan Daerah Menuju Integrasi.

Dalam diskusi ini mengangkat tema Pergolakan Daerah di Papua dan Kalimantan Barat dalam upaya berintegrasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Arifiah Djaelami, selaku narasumber pergolakan di Papua mengatakan bahwa saat itu Papua ada tiga faksi yang dihuni oleh elite-elite politik Papua.

Pertama, elite politik yang pro Belanda dan akhirnya hijrah ke negeri Belanda dan berjuang di negeri Kincir Angin. Kedua, elite politik yang pro integrasi ke NKRI dan berjuang di tanah Papua. Ketiga, elite politik yang netral yaitu tidak pro Belanda dan tidak pro NKRI.

“Nah kelompok elite yang ketiga inilah yang sampai sekarang bikin repot bangsa Indonesia karena sebagai embrio adanya separatis yang ingin memisahkan diri tanah Papua dari pangkuan NKRI” tegas Arifiah.

Sementara itu, Muh. Rikaz Prabowo, yang berbicara tentang pergolakan di Kalimantan Barat dalam upaya integrasi mengatakan bahwa saat itu di Pontianak elite politiknya terpecah menjadi dua faksi yakni kelompok pertama yang ingin menyatu dengan NKRI dan kelompok kedua adalah kelompok yang ingin Kalimantan Barat berdiri sebagai sebuah daerah otonom dalam bentuk federalisme yang ketika itu didukung oleh NICA.

Tokoh yang paling disegani dan paling berwibawa dari kelompok kedua adalah Sultan Hamid II (Sultan Pontianak). Untuk kendaraan perjuangannya Sultan Hamid II bersama sultan-sultan dan tokoh masyarakat membentuk DIKB (Daerah Istimewa Kalimantan Barat).

“Rupanya upaya ini ditentang oleh kelompok republik yang pro NKRI dengan membentuk organisasi tandingan yang bernama GAPI (Gabungan Persatuan Indonesia)” jelas Rikaz.

Pasca KMB,tambah Rikaz, konflik politik kedua pihak menguat. Hal ini dikarenakan GAPI dan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) mendukung pengiriman TNI untuk mengamankan Pontianak dan sekitarnya sebagai inti dari Pasukan APRIS. Sebaliknya DIKB kurang mendukung pengiriman TNI karena di sana sudah ada KNIL (Koninklijk Naderlandsch-Indische Leger) untuk mengamankan Kalimantan Barat, yaitu tentara yang dibentuk oleh kolonial Belanda yang anggotanya dari para prajurit pribumi.

Puncak dari konflik politik itu ialah terjadinya pemogokan massal pada bulan Maret 1950 di Pontianak yang mengakibatkan kelumpuhan ekonomi dan berdampak seluruh provinsi. Konflik ini awalnya dicoba diselesaikan melalui perundingan yang ditengahi Komisaris RIS dan DPR RIS. Akan tetapi penangkapan Sultan Hamid II karena dugaan keterlibatannya dalam rencana penyerangan Dewan Menteri RIS (Republik Indonesia Serikat) pada 24 Januari 1950 mengubah konstelasi politik begitu cepat. Jalannya DIKB berjalan dengan tidak kondusif ditengah massa rakyat yang semakin mendukung integrasi ke RI. Dengan tertangkapnya Sultan Hamid II, menjadi jalan dibubarkannya DIKB.

“Tentang pengusulan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional akan menemui jalan yang cukup berat karena beberapa alasan yang mempersulit pengusulan itu. Hal ini karena jejak sejarahnya Sultan Hamid II memang berseberangan dengan tokoh-tokoh pro integrasi. Meski sebenarnya ada dua jasa besar Sultan Hamid II yang tidak bisa dipungkiri misalnya tokoh ini sebagai pencipta gambar lambang garuda Pancasila dan ikut membawa BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yang dipimpinnya bersikap satu suara dengan delegasi RI dalam perjanjian yang paling menentukan untuk diakuinya kedaulatan Indonesia, yaitu Konferensi Meja Bundar” pungkas Rikaz. (MJ/50)