Disrupsi Akhlak di Era Digital

Oleh: Ely Sukasih, MA

mediajateng.net – Berkembanganya revolusi digital mengubah berbagai tatanan kehidupan tidak terkecuali dalam perilaku beragama. Eksplosi digital turut memberikan dampak dari dunia maya ke dalam dunia nyata dan menyajikan segala informasi dengan begitu cepat. Era perubahan kali ini mendesak siapapun untuk terus berinovasi dalam berkarya. Revolusi 4.0 telah membawa perubahan besar. Pandemi covid-19 telah mempercepat proses disrupsi. Ada yang percaya bahwa perubahan ini bersifat sementara, tetapi banyak yang memprediksi bahwa situasi ini bersifat permanen.

Hidup manusia pasca covid-19 akan terbiasa dengan pola pembatasan sosial, tidak tergantung pada kantor fisik yang megah, kegiatan ekonomi, dan pendidikan dilaksanakan melalui jarak jauh. Kita kini menghadapi double disrupsion. Menurut Dahlan Iskan, yang paling berhasil mendorong transformasi digital dalam perusahaan bukan CEO (Chief Eksekutive Officer) ataupun CTO (Chief Technology Officer) ataupun CTO melainkan si covid-19, kata Renald Kasali.

Di era disrupsi, perlu di bangun suatu ekosistem digital, yang memungkinakan organisasi berlayar ke tengah sungai yang alurnya deras. Di sana tersedia tantangan, sekaligus peluang, tanpa berani masuk ke ekosistem digital, maka seolah nyaman dengan jalan lamban, tapi lama-lama tenggelam.⁣

Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan istilah disrupsi sebagai hal tercabut dari akarnya. Disrupsi ini juga tidak hanya sekedar perubahan, akan tetapi perubahan besar yang merubah tatanan, perubahan yang mencabut semua hal sampai akar-akarnya. Disrupsi itulah orang menyebut keadaan zaman sekarang, perubahan yang dapat membuat manusia kehilangan dan terpaksa menukar semua akar landasan kehidupanya, baik secara sadar maupun tidak. Perubahan yang terjadi secara tidak jelas dan penuh kekacauaun. Bangsa Indonesia tampaknya termasuk bangsa yang tidak siap menghadapi era disrupsi ini. Bagaimana tidak, bangsa yang selama ini ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang paling ramah dan santun di dunia nyata ini, ternyata di nobatkan oleh sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh microsoft sebagai bangsa yang paling tidak sopan di dunia maya. Dalam laporan judul (Digital Civility Indek) DCI: Indonesia berada diurutan ke-29 dari 32 negara yang di survei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara.⁣

Laporan itu juga menyebut kalau derajat ketidaksopanan warganet Indonesia ini naik delapan poin dari tahun 2019. Dari yang semula 67 menjadi 76 poin. Semakin tinggi poin berarti semakin tinggi pula sikap ketidaksopanannya. Ironisnya, peningkatan indeks ketidaksopanaan di Indonesia justru dilakukan oleh orang-orang dewasa. Bagi masyarakat Indonesia, guncangan yang diakibatkan kemajuan teknologi ini tidak hanya mendisrupsi dunia ekonomi dan sosial ekonomi saja, tetapi juga menguncang hal yang paling dasar dalam kehidupan umat manusia, yaitu dalam bidang agama. Pada era disrupsi sekarang ini, fenomena Muslim tanpa masjid ini berkembang semakin menjadi. Teknologi memasok semua hal tentang agama dari berbagai sumber tanpa dapat diseleksi. Akibatnya ada yang seperti mabuk oleh agama, ada yang tercerahkan, namun ada pula yang semakin anti pati pada agama. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara Islam dan pemikiran atau penafsiran tentang Islam, ketidakmampuan menjernihkan dan mempertautkan antara ulum al-din, al-fikr al-Islami, dan dirasah Islamiyah, akan menjadi tantangan tersendiri yang berujung pada kejumudan umat Islam.⁣

Pendekatan dikotomis hanya mengantarkan pola pikir yang mengarah ke Lower order of thinking skills (Lots). Ketika kita tidak punya kemampuan berfikir kritis akan mudah terbawa arus. Kita sebagi guru harus mampu menanamkan jiwa keagaamaan generasi baru yang di pandu oleh nilai honesty, diligent, comprehensive, reasonablenees, dan self restrains. Tanpa nilai-nilai itu maka akan mudah terjebak pada sikap otoritasme keagamaan yang mudah menghakimi.

Perubahan era disrupsi tidak bisa disikapi dengan sikap defensive-apologetik, tetapi harus dengan ilmu pengetahuan. Teknologi telah mencipta ketimpangan baru. Di saat masyarakat urban telah terbiasa dengan teknologi berbasis internet, masyarakat terpencil masih belum mendapat akses internet, bahkan ada yang belum mendapat akses listrik⁣.

Kemajuan teknologi informasi belum dimanfaatkan secara optimal oleh individu maupun organisasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Banyak perusahaan menyikapi dengan melatih ulang para pemimpin dan karyawanya di era baru ini. Mereka di tuntut responsif, adaptif, mobile, kolaboratif, transparan, dan seterusnya. Menyikap perubahan, agama membutuhkan cara pandang kontekstual. Tanpa interpretasi baru yang berlandasakan khazanah turats, agama akan menjadi terasing dari kehidupan.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,⁣
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ⁣
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145).⁣
Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan makna hadis di atas sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi,⁣
أَنَّ الإِسْلام بَدَأَ فِي آحَاد مِنْ النَّاس وَقِلَّة ، ثُمَّ اِنْتَشَرَ وَظَهَرَ ، ثُمَّ سَيَلْحَقُهُ النَّقْص وَالإِخْلال ، حَتَّى لا يَبْقَى إِلا فِي آحَاد ووَقِلَّة أَيْضًا كَمَا بَدَأَ⁣

“Islam dimulai dari segelintir orang dari sedikitnya manusia. Lalu Islam menyebar dan menampakkan kebesarannya. Kemudian keadaannya akan surut. Sampai Islam berada di tengah keterasingan kembali, berada pada segelintir orang dari sedikitnya manusia pula sebagaimana awalnya.” (Syarh Shahih Muslim, 2:143)⁣

Neotrasdisionalis telah memulai menjadikan kekayaan turats sebagai landasan menyikapi situasi kontemporer. Merespons era disrupsi akibat revolusi industri, agama hendaknya memberi ruang bagi sains untuk mengungkapkan dirinya sembari menjadi pengawal nilai moral atas produk teknologi. Agama mengingatkan tentang peranan manusia di muka bumi, tidak membuat kerusakan, tidak merendahkan martabat makhluk-Nya. Misalnya sains melahirkan nuklir, agama memberi rambu supaya nuklir tidak menjadi bencanam tetapi menopang kemaslahatan seperti energi listrik. Wallauhu A’lam bissowab.

*)Ely Sukasih, MA
Pendidik MTs Negeri 2 Banjarnegara