Teknologi Paving Berpori Penyerap Air di Parkir Masjid di Kota Semarang

Media Jateng, Semarang– Banjir masih menjadi masalah disejumlah wilayah di Kota Semarang. Tidak hanya kawasan pelabuhan, namun kawasan atas juga tidak jarang tergenang air.

Banjir dikawasan atas Kota Semarang lebih banyak karena volume air yang tidak tertampung disungai. Sedang kawasan pelabuhan didominasi air rob.

Penanganan genangan air di Kota Semarang, tidak dilakukan sendiri. Namun, pemerintah juga melibatkan sektor swasta.

Salah satunya yakni penanganan genangan air di Kelurahan Meteseh, Kota Semarang. Dimana, perusahaan skala Nasional GoTo terlibat membangun lantai dengan teknologi penyerap air.

Dengan memasang 1.500 meter persegi paving berpori, diharapkan air bisa meresap ke bumi di Meteseh dan tidak langsung terbuang ke laut.

Penanganan banjir di Meteseh, Kota Semarang dilakukan dengan menyentuh kawasan atas Meteseh, Kecamatan Tembalang.

Sebagai salah satu kawasan penyumbang genangan air banjir dikawasan bawah Kota Semarang, Meteseh dipasang paving berpori yakni paving blok penyerap air dan sumur resapan.

Hasil sumbangan dari Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB), organisasi nirlaba bagian dari Grup GoTo, Meteseh, dipasang paving berpori penyerap air hingga 1.500 meter persegi.

Pemasangan paving berpori di kawasan atas, bertujuan mengurangi risiko banjir sekaligus meningkatkan cadangan air tanah di Kelurahan
Meteseh.

Monica Oudang, Chairwoman Yayasan Anak Bangsa Bisa, menjelaskan, pemasangan
bersama changemakers dari Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) meluncurkan proyek Semarang
Berdaya.

Proyek yang menerapkan teknologi zero run-off yang berupa instalasi terintegrasi antara PoreBlock
(paving block berpori) dan sumur resapan.

Para changemakers dari ReservoAir dan Liberates Creative Colony mengidentifikasi Kelurahan Meteseh,
Semarang, sebagai salah satu area paling rentan terhadap bencana banjir.

Penempatan paving berpori di Meteseh Kota Semarang, dilakukan lantaran tahun 2021, Semarang
mengalami 432 bencana alam, 63,11% di antaranya bencana hidrometeorologi.

Tahun yang sama,
kasus banjir menimpa Meteseh berulang kali dan membawa kerugian sosial ekonomi kepada lebih dari 100
jiwa di tiap kasus.

Bencana banjir di Meteseh disebabkan perubahan fungsi lahan, perubahan iklim, alasan geografis
maupun perilaku masyarakat.

“Kami melihat masyarakat di Meteseh dan area lain di Semarang membutuhkan solusi yang bisa berdampak
lebih cepat dan lebih luas,” ungkap Monica Oudang.

“YABB dan CCE hadir di Meteseh, membawa inovasi
yang mudah diaplikasikan dan direplikasi sehingga bisa mencegah banjir,” tambah Monica Oudang.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang Budi Prakoso, ST., MT menyampaikan respon positif kegiatan sosial berbasis lingkungan.

“Saat ini sudah dilakukan berbagai bentuk penanggulangan
banjir di Semarang, seperti pembangunan tanggul, polder, pompa, dan bendungan,” urai Kepala Bappeda Kota Semarang.

“Namun itu belum
cukup, kami masih membutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mempercepat dan memperluas
dampak di Kota Semarang,” tambah Kepala Bappeda Kota Semarang.

Menyadari urgensi permasalahan bencana hidrometeorologi di Kota Semarang, changemakers
berupaya menyusun solusi inovatif melalui Catalyst Changemakers Lab (CCL).

Berkat kolaborasi dengan pemangku kepentingan multisektor, para changemakers akhirnya bisa menghadirkan solusi berbasis
ekosistem.

Di Meteseh digunakan dengan menggabungkan optimalisasi teknologi dan pemberdayaan masyarakat di
Meteseh yang berpenghuni 24.195 jiwa.

Penanganan banjir di Meteseh, Kota Semarang dilakukan dengan menyentuh kawasan atas Meteseh, Kecamatan Tembalang.

Sebagai salah satu kawasan penyumbang genangan air banjir dikawasan bawah Kota Semarang, Meteseh dipasang paving berpori yakni paving blok penyerap air dan sumur resapan.mj/70