DEMAK, Mediajateng.net – Pemerintah Kabupaten Demak didesak untuk melakukan penghitungan ulang suara dalam Pilkades Desa Sayung, Kecamatan Sayung.
Warga yang menggeruduk Pendopo Pemkab menduga terjadi kecurangan saat proses penghitungan suara pada pesta demokrasi lokal yang digelar 9 Oktober 2016 lalu.
Kasmadi (47), warga setempat mengatakan, pada saat proses penghitungan suara, panitia secara sepihak memindahkan lokasi penghitungan suara tanpa adanya pemberitahuan dari semua calon kepala desa.
Tanpa ada persetujuan atau kesepakatan, lokasi penghitungan suara dipindah oleh panitia pilkades. Yang semula dilaksanakan di TPS area pasar Sayung, dipindahkan ke aula Balai Desa Sayung, dengan alasan hujan lebat dan listrik padam. “Kondisi aula balaidesa tidak kondusif. Saat penghitungan suara lanjutan, antar TPS tidak ada pembatasnya, sehingga surat suara rawan tercampur dan rawan terjadi penggelembungan suara,” terangnya, Jumat (14/10).
Warga, lanjutnya, bersikeras untuk dilakukan penghitungan ulang.
Seperti diketahui, Pilkades di Desa Sayung, diikuti oleh 5 kandidat calon kades dengan jumlah pemilih sebanyak 5.962 orang.
Nur Hakim warga lainnya, menuntut Bupati Demak, M. Natsir untuk turun tangan menyelesaikan persoalan itu.
Menurutnya, berdasarkan pasal 37 ayat 6 UU RI nomor 6 tahun 2014 tentang desa dan pasal 61 ayat 1 Perda Demak nomor 5 tahun 2015 tentang desa, bupati mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkades. “Payung hukumnya sudah jelas, maka tidak ada alasan lagi, bupati harus segera menyelesaikan persoalan ini,” desak Nur.
Sementara itu, Nur Wahyudi, Asisten I Pemkab Demak, seusai menemui warga, mengatakan, mewakili Pemkab Demak, pihaknya tidak dapat memenuhi tuntutan warga terkait penghitungan ulang. “Yang menggelar Pilkades tidak hanya Desa Sayung, kalau dituruti penghitungan ulang, desa lainnya pasti juga meminta penghitungan ulang,” jelasnya.
“Kalau masih belum puas, silakan ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kita ketemu disana,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Demak (FKRMD), Muhammad Rifai mengatakan bahwa pihaknya telah sering kami menyampaikan terkait efek lemahnya perangkat aturan/hukum dalam perhelatan pilkades serentak. “Timbulnya protes dan ketidak puasan masyarakat ini bisa dilihat dari SK Bupati terkait pelaksanaan pilkades berubah sampe 3 kali,” tegas dia.
Selain itu, lanjut Rifai tidak adanya team penyelesaian tingkat kabupaten juga menjadi kendala pentinf. “Seperti misal aturan main panitia dimasing masing desa tidak sama. Juga, apa sanksi bagi panitia ketika terjadi kesalahan?” tambah dia.
Rifai pun menduga, pembentukan Panwas tingkat desa sampe tingkat kabupaten hanya sekadar formalitas. “Yang perlu diingat bahwa pilkades ini menghabiskan anggaran yang luar biasa besar, dari APBD saja sudah Rp16 milyar, belum lagi anggaran dari APBdesa dan iuran para calon. Jadi Pemkab ikut bertanggung jawab kalau ternyata ada sengketa pilkades. Jangan terkesan lempar tanggungjawab,” tegas dia. (MJ-045)
Comments are closed.