Media Jateng, – Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang mendorong Pemerintah Kota (Pemkot) setempat untuk segera melakukan langkah penanganan dampak dari normalisasi Sungai Bringin bagi petani.
Demikian disampaikan Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, HM Rukiyanto AB menanggapi keluhan puluhan petani yang lahan sawahnya terkena dampak normalisasi Sungai Bringin. Akibat dari normalisasi tersebut, terdapat sawah seluas 40 hektar di wilayah Mangkang Wetan dan 40 hektar di wilayah Mangunharjo, tidak lagi teraliri saluran irigasi.
“Kepentingan masyarakat ini harus kita perhatikan. Disisi lain kami mengapresiasi Pemkot Semarang yang melakukan normalisasi sungai Bringin untuk mengurangi banjir di wilayah tersebut,” ungkapnya saat ditemui awak media, Senin (6/1/2025).
Ia menyebut, di wilyah tersebut terdapat dua sisi yang merugikan, awalnya normalisasi Sungai Bringin untuk mengantisipasi banjir. Namun, setelah pembangunan selesai, masyarakat mengeluhkan air yang tidak bisa mengaliri irigasi sawah.
“Kami berharap, ini harus segera di selesaikan Pemkot, sehingga keduanya bisa teratasi banjir dan irigasi sawah bisa diperhatikan,” pintanya.
Pria yang juga anggota Fraksi PDI Perjuangan ini menyampaikan, nantinya di wilayah tersebut akan dibangun rumah susun sewa (Rusunawa), sehingga Pemkot diminta untuk lebih memperhatikan, dampak apa saja yang akan terjadi.
“Untuk usulan bendungan, perencanaan yang dibuat harus bersifat tuntas atau selesai. Di daerah sana juga akan ada dibangun rumah susun, sudah diproses, apakah nanti itu akan kesana, dilihat itu akan memberi dampak atau tidak,” tegasnya.
Rukiyanto mendorong Pemkot Semarang untuk bisa teliti sebelum bersikap, karena itu kepentingan masyarakat yang terdampak harus kita perhatikan.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, puluhan petani mengeluhkan sawahnya tidak lagi teraliri air dari saluran irigasi akibat normalisasi Sungai Bringin. Seperti yang disampaikan Salah satu petani Mangkang Wetan, Khayat. Ia mengaku sangat terdampak, hingga sawahnya kekeringan dan tak bisa ditanami padi.
“Jadi akibat sungai dikeruk, saluran irigasi jadi lebih tinggi dari air sungai. Dampaknya karena tidak ada air jadi tidak bisa ditanami, kalau gagal panen kan bisa nanam tapi tidak bisa panen. Nah ini kan tidak bisa nanam,” ujar Khayat.
Seharusnya, sawah milik Khayat seluas 2,5 hektar bisa ditanami dua kali dalam setahun. Namun karena dampak normalisasi sungai Beringin dirinya tak dapat menanam padi.
“Satu tahun seharusnya bisa dua kali tanam, itu kalau ada pengairan. Sejak ini dibangun (normalisasi sungai Beringin) kerugiannya bisa mencapai Rp 50juta permusim,” kata dia.(ot/mj)