Semarang, mediajateng.net, – Pengacara dari kantor hukum “Law & Justice” Advocates and Legal Consultant, Dody Ariadi melaporkan hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Semarang atas dugaan pelanggaran kode etik hakim.
Pelaporan ditujukan kepada Badan Pengawas (Bawas) Hakim Mahkamah Agung (MA), Ketua MA, Dirjen Badilum MA, Ketua Komisi Yudisial (KY) melalui KY Perwakilan Jawa Tengah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga ditembuskan kepada Ketua PN Semarang serta Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Tengah, Senin (1/3/2021) kemarin.
Laporan disampaikan terkait dengan putusan perkara permohonan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) nomor 32/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Smg dengan termohon berinisial BD, seorang pengusaha di Semarang, yang ditangani Dody.
“Kami melaporkan majelis hakim perkara tersebut karena putusannya sangat tidak logis dan penuh kejanggalan. Putusannya memperlihatkan adanya syarat kepentingan,” kata Dody, Selasa (2/3/2021).
Dalam perkara PKPU tersebut, majelis hakim yang terdiri Bakri sebagai ketua majelis, Asep Permana dan Eko Budi Supriyanto sebagai hakim anggota, memutuskan eksepsi termohon (BD–red) tidak dapat diterima dan mengabulkan permohonan pailit terhadap termohon untuk seluruhnya.
Dody menilai, putusan tersebut janggal dan sarat kepentingan karena sebelumnya telah ada dua gugatan PKPU dengan subyek dan obyek yang sama. Yaitu perkara PKPU nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Smg yang amar putusannya menolak permohonan pemohon.
Kemudian, perkara nomor 38/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Smg yang isinya sama dengan perkara sebelumnya yaitu menyatakan eksepsi termohon tidak dapat diterima dan menolak permohonan pemohon.
“Putusan kedua perkara sebelumnya itu telah berkekuatan hukum tetap (inkraht van gewsijde). Tapi anehnya, muncul gugatan ketiga dan majelis hakim mengabulkan gugatan itu. Kami menginginkan peradilan bersih dan adil, jauh dari kepentingan,” ungkapnya.
Padahal, lanjutnya, anggota hakim pemutus juga terlibat pada pada putusan dua perkara sebelumnya. Seharusnya, hakim melihat dan mempertimbangkan dua putusan sebelumnya tersebut pada pertimbangan putusan perkara atau gugatan ketiga yaitu gugatan pailit.
“Ini justru hakimnya mengabaikan dua putusan sebelumnya. Padahal hakimnya tahu karena ikut memutuskan. Tapi pada perkara ketiga, hakim justru mengabulkan. Lha ini ada apa?” herannya.
Tak hanya itu saja, dalam putusan perkara ketiga, Dody menyebutkan, bahwa majelis hakim bertindak tidak adil, tidak arif dan tidak bijaksana. Pasalnya, katanya, hakim mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Di antaranya keterangan para saksi yang dihadirkan dari pihak termohon.
Perkara tersebut diawali adanya hutang sebesar Rp 8,945 miliar oleh AH yang merupakan anak dari termohon, BD. Di mana dalam perjanjian hutang, termohon BD bertindak sebagai penjamin.
“Termohon sebagai penjamin telah membayar hutang secara lunas menggunakan tiga sertifikat tanah dan ditandatangani akta perjanjian ikatan jual beli di hadapan notaris,” ucapnya.
Saat ini, kurator yang ditunjuk dalam putusan pailit perkara nomor 32/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niaga Smg juga sedang melakukan verifikasi kreditur. Dody meminta penundaan verifikasi kreditur karena adanya laporan yang disebabkan putusan yang janggal tersebut.
“Kami mengajukan penundaan verifikasi kreditur, mengacu pada azas kemanfaatan dan keadilan. Di samping itu, kami juga mengajukan upaya hukum kasasi. Jadi putusannya belum berkekuatan hukum tetap,” pungkasnya.
Selain alasan tersebut, tim kuasa hukum yang diwakili Dody juga mengungkapkan adanya dugaan penggunaan identitas yang diduga palsu dalam proses pengajuan pailit yang diajukan oleh pemohon. Hal tersebut dikarenakan Nomor KTP yang digunakan oleh pemohon sama dengan nomor KTP yang telah dinyatakan palsu dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman No.578/Pid.B/2019/PN Smn.
“Terkait identitas yang digunakan oleh pemohon, kami menduga terdapat keterangan yang tidak benar berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sleman,” tambah Dody.
Saat dikonfirmasi, Humas PN Semarang, Eko Budi Supriyanto mengatakan belum tahu adanya pelaporan hakim. Menurutnya, pelaporan tersebut dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan majelis hakim atas suatu perkara yang disidangkan.
“Putusan Hakim tidak bisa memuaskan semua pihak. Ya biasa kalau hakim itu mesti jadi obyek pelaporan karena ada yang tidak puas,” kata Eko.
Seharusnya, kata Eko, agar fair tentunya pihak yang kurang puas atau kalah dalam suatu perkara yang disidangkan, menggunakan upaya hukum lanjutan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang (UU). (ot/mj)