Cara seniman Kendal meluapkan kegelisahan lingkungan

KENDAL, Mediajateng.net – Barang Bukti Theater Parade #4 merupakan sebuah program kreatif yang digerakkan oleh Teater Atmosfer. Dengan dukungan penuh dari Jarak Dekat Art Production, yang merupakan ruang berkegiatan antarkomunitas dan sebuah laboratorium komunitas anak muda di Kendal.

Pada Sabtu, 20 Januari 2018, di Gedung Balai Kesenian Remaja (BK) Kendal, yang berada di belakang GOR Bahurekso Kendal. Gedung tua dan sangat kecil untuk ukuran gedung kesenian tersebut, menjadi saksi perhelatan parade teater yang sudah berlangsung keempat kalinya ini. Teater Atmosfer kali ini menyuguhkan sebuah naskah lakon berjudul Di Bawah Bayang-Bayang Pohon Bakau karya Wahyudin. Marji yang diperankan oleh Akhmad Sofyan Hadi, Samiah diperankan oleh Maghfirotul Laili Lugna, Rahmin diperankan olej Arfi Cahya Fetriyanto dan Samsasni diperankan oleh Andhi N. Setiaji.

“Pada kesempatan ini, kami berupaya mengangkat naskah ini atas dasar kegelisahan terhadap fenomena di sekitar. Khusunya terkait persoalan yang menyangkut keutuhan dan pelestarian lingkungan. Dari naskah ini, menggambarkan dengan begitu nyata bagaimana keadaan sebuah kampung atas konflik pembebasan lahan yang hendak digunakan untuk pembangunan yang merugikan masyarakat. Kali ini, terjadi pada masyarakat di tepi pantai yang berkeseharian sebagai penanam pohon bakau,” ungkap Tri Setyaningsih, sutradara dalam pementasan ini.

Menurut Tri, seorang pegiat Teater Atmosfer yang masih berstatus sebagai mahasiswi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Kendal ini, bahwasanya proses penggarapan naskah ini memakan waktu sekitar satu tahun. Mengingat cukup sulit untuk menentukan jadwal latihan. Dikarenakan para pemain dan segenap tim kreatif lainnya tidak hanya dari pelajar/mahaiswa semata, namun banyak yang sudah berkeluarga dan bekerja.

“Persoalan menentukan jadwal latihan memang menjadi kendala tersendiri bagi kami, namun kami berupaya profesional. Kerja teater ini menjadi sebuah kerja kreatif yang tak membuat kami begitu saja menyerah. Kami berupaya menyiasati sedemikian rupa agar proses penggarapan pentas ini tetap berjalan mulus,” tutur Rian Permana Dwi Saputra, Lurah Teater Atmosfer, seorang mahasiswa Universitas Semarang yang kini sedang berupaya menyelesaikan kuliahnya.

Ditambahkan oleh Akhmad Sofyan Hadi, Direktur Artistik Jarak Dekat yang pada proses kali ini berperan sebagai Marji, bahwasanya menggarap naskah yang begitu realis ini cenderung tidak mudah. Ia mengakui, membutuhkan tidak sedikit daya upaya dan strategi tertentu untuk menghadirkan peristiwa di atas panggung.

“Naskah ini mengangkat kisah sederhana, begitu dekat dengan masyarakat, bahkan masih kerap dialami. Sampai sekarang masih terjadi. Entah perihal alam pegunungan (dataran tinggi) atau pesisir (laut). Justru karena sudah begitu dekatnya dengan masyarakat, maka kami butuh tenaga banyak agar mampu menciptakan pandangan lain ke hadapan penonton, agar mereka tidak jenuh. Agar mereka menemukan kesadaran lain untuk menemukan titik terang atas persoalan yang diangkat dalam naskah lakon ini,” tutur Sofyan, seorang guru yang sempat menyabet juara monolog tingkat mahasiswa nasional.

Selain pementasan lakon tersebut, dalam gelaran ini juga ditampilkan musikalisasi puisi dari Paradoks. Sebuah group musikalisasi puisi sekaligus tim tata suara dan musik dalam pementasan ini. Mereka suguhkan beberapa puisi-puisi, di antaranya dari penyair WS. Rendra. Ada pula pembacaan puisi dari Dhiyah Endar, seorang seniman perempuan muda yang juga seorang guru dari SMK Adhi Yudha Karya Patean Kendal.

“Kami menggaet pula Teater Talank dari SMA N 1 Kaliwungu Kendal untuk turut serta mengisi gelaran ini. Mereka menggarap sebuah pertunjukan pantomim yang begitu memikat penonton,” ungkap Andhi Nugeraha Setiaji, pegiat Teater Atmosfer yang pada kesempatan ini memerankan tokoh Samsani.

Menurut Andhi, terbilang berhasil gelaran yang digelar rutin keempat kalinya ini. Sebuah parade teater yang begitu menyedot antusias penonton. Dari kalangan pelajar, mahasiswa, seniman dan masyarakat umum. Bahkan kapasitas gedung yang seharusnya mampu menampung 100 penonton, karena penonton membludak, maka tiap sesi dihadiri penonton hingga 160 orang. Pementasan pecah dalam sesi sore dan malam.

“Ini sebuah acara yang sangat bagus. Sangat menarik dan tentu positif. Jarang-jarang sekali di era seperti sekarang masih ada anak muda yang peduli terhadap persoalan yang ada di sekitar. Mereka berupaya menyuarakan kegelisahannya untuk menularkan kesadaran untuk kebaikan bersama. Namun sepertinya setiap laku positif tidak menentu dijawab dengan perlakuan positif pula. Lihat saja, anak-anak kreatif yang berproses dan berkegiatan positif di sini tidak mendapat apresiasi atau dukungan yang sepatutnya. Mereka pentas di gedung yang sangat sempit, minim fasilitas, panas tanpa pendingin ruangan. Bahkan mereka telah menggelar pertunjukan kesenian di gedung yang kamar mandinya tidak berisi air. Kata panitia, sudah tiga bulanan ini nunggak pembayarannya, dan nyaris akan dibongkar oleh PDAM, karena pihak PDAM bingung akan meminta tagihan tunggakan ke mana, dinas terkait pengelola gedung malah saling lempar,” tutur Budiawan, salah seorang penonton.